Saturday, September 7, 2013

Reformasi - Mengurus passport day 2


Maaf, baru sempat meneruskan posting terdahulu. Padahal sudah berbulan-bulan lewat. Better late than never :-) Setelah hari Senin mengurus administrasi, hari Rabu saya harus datang bersama anak-anak untuk foto. Saya sudah datang sebelum jam 7, mengantri untuk mengambil nomor. Anak-anak datang belakangan bersama ayahnya, supaya mereka tidak menunggu terlalu lama. Setelah mendapat nomor, saya menunggu untuk membayar (karena masih pagi, masih kosong tempat duduknya). Ternyata oh ternyata, pukul 8 saat semua loket dibuka, loket pembayaran belum dibuka. Sebel bin gelisah karena pengantri di loket lain sudah banyak yang dipanggil. Alasannya: belum bisa online dengan sistem di pusat. Heloooo .. kalian jadul banget ihh .. Setelah dipanggil, membayar biaya passport dan diberi tanda terima. Lalu, pindah menunggu di depan ruang pemotretan. Saat menunggu, kita bisa lihat nomer berapa yang sudah dipanggil. Semuanya komputerisasi. Pemotretannya sendiri sebentar banget. Jangan pakai baju warna putih ya. Setelah dipotret, pengambilan sidik jari. Lalu, selesai! Hari Senin depannya, passport sudah jadi. Saya gak enak bolos terus, jadi minta suami untuk mengambil. Kata petugasnya sih, boleh diambilkan asal masih satu Kartu Keluarga. Menurut suami sih saat mengambil juga udah jelas, gak perlu lagi ambil nomer antrian. Langsung ke loket pengambilan passport. Selesaaai .. gak pake calo, gak pake ribet. Keren kan Kantor Imigrasi sekarang? Baru dapat berita lagi, di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat (dan Jakarta apa lagi ya? Ada dua deh) malah bisa buat passport cuma satu hari saja. Tidak perlu tiga kali balik seperti saya. Makin keren deeeh ..

Sunday, June 16, 2013

Reformasi: Mengurus passport - day 1


Karena jadi followernya Wamenkumham, @dennyindrayana yang sering post atau retweet mudahnya mengurus passport jaman sekarang - no calo at all - saya mulai mengubek2 websitenya kantor imigrasi dan membaca2 persyaratan serta prosedur perpanjangan passport. Kebetulan saya dan keluarga akan pergi ke luar negeri untuk liburan. Passport saya dan anak-anak hampir habis masa berlaku, jadi harus perpanjang. Sekilas baca2, kok mudah ya. Sebetulnya sudah tau sih tentang pembuatan passport online, sudah minta pak suami untuk menyiapkan dan mendaftarkan online, tapi ya ampun, dua minggu kurang sebelum berangkat masih juga belum didaftarkan. Ya sudahlah, karena Kamis depan sudah berangkat, maka Senin ini HARUS buat passport. SMS ke kantor, ijin, titip kerjaan ke teman. Beres. Berangkatlah menuju kantor imigrasi Jakarta Selatan di Jl Mampang Prapatan. Sampai di sana jam 7.45, langsung ke lantai 2. Yang antri sudah banyak. Saya ambil nomor dan ambil formulir + map (gratis ya). Dapet nomer 53-54-55. Cari-cari duduk (ruang tunggu sudah penuh), dapet tempat, duduklah saya sambil mengisi formulir. Sekitar jam 9.30 dipanggil, dicek berkas-berkas, ternyata berkas anak-anak ada yang kurang. Jadilah saya harus melengkapi dulu. Jam 10 beres. Saya harus datang lagi hari Rabu untuk bayar dan wawancara + foto, lalu ambil passport hari Senin depan. Saya tuliskan di sini syarat dan prosedur hari ini ya .. 1. Perpanjang passport: - Passport asli dan fotokopinya satu lembar - Fotokopi akte kelahiran - Fotokopi ijasah jika ada - Fotokopi KTP - untuk anak2, fotokopi KTP ayah dan ibunya - Fotokopi KK - Fotokopi surat nikah - untuk anak2, fotokopi surat nikah ayah-ibunya - Surat ijin orangtua bagi anak-anak di bawah umur yang ditanda tangan kedua ortu dengan meterai Rp 6000. Saya beli di koperasi seharga Rp 14.000 :)
- Mengisi formulir pendaftaran dengan bollpoin TINTA HITAM dan HURUF CETAK. Kolom KTP untuk anak, diisi oleh NIK yang ada di kartu keluarga. Kolom nama dan alamat kantor untuk anak, diisi nama dan alamat sekolah. 2. Mengambil nomor antrian dan map + formulir di meja pengambilan nomor 3. Mengisi formulir 4. Menunggu dipanggil - saking gak mau kelewat, saya nahan pipis dan haus, hehehe 5. Saat dipanggil - mereka sudah pake sistem antrian komputerisasi, kayak di bank, kita tinggal duduk manis kalau dapet tempat duduk - maju ke loket yang sudah ditentukan. Oya, nomer antrian untuk yang daftar online dan yang manual dipisahkan. Anak-anak tidak usah ikut saat menyerahkan berkas. 6. Dicek kelengkapan berkas 7. Diberi tanda terima yang harus dibawa saat bayar + wawancara/foto Biaya pembuatan passport 48 halaman (sekarang gak boleh buat 24 halaman) Rp 200.000. Biaya pembuatan passport sistem biometrik Rp 55.000. Total biaya harusnya Rp 255.000. Let's see hari Rabu, bener gak segitu. Yang jelas, meski harus bolak-balik, tapi antrian cukup jelas. Prosedur cukup jelas. Jadi emang gak butuh lagi pake calo sih. Di dinding2 kantor imigrasi juga ada poster2 untuk gak pake calo. Maaf ya bapak/ibu calo, kalian cari usaha lain yaaa.

Tuesday, December 18, 2012

5cm


5 cm. Semalam nonton film ini bareng anak-anak. Keren. Menunjukkan keindahan Indonesia pada kita. Filosofi film ini dalam sekali. Berharap anak-anak bisa menangkapnya, minimal anakku yang besar, yang udah ABG, yang mulai naksir cewe, yang mulai lebih suka kumpul sama teman-temannya ☺ Persis tokoh Riani yang berterima kasih pada Genta karena sudah mengajak naik gunung, supaya bisa bercerita pada suami dan anak-anaknya nanti, saya juga merasa bangga pernah naik gunung juga. Cuma pernah, karena cuma pernah tiga kali saja. Kalau diajak lagi sekarang, no thank you. Kangen sih tapi sadar diri aja. Masa kalah sama Ian si pesut Ancol (dalam film 5 cm) yang mampu naik gunung seperti itu? Ah, itu kan cuma di novel atau film. Hahaha .. Asal muasal saya naik gunung sih bukannya karena saya cinta gunung. Cuma sebagai syarat karena saya jadi anggota pencinta alam ☺ Saya lebih cocok jadi anak Pramuka, karena sejak SD, SMP, SMA aktivitas saya lebih banyak di Pramuka. Sudah jadi passion saya selain organisasi siswa (OSIS) dan senat mahasiswa. Siaga, Penggalang, Penegak saya lewati semua. Camping di halaman sekolah, di lapangan perkemahan sampai di desa-desa saya ikuti. Gerak jalan, lomba ketangkasan juga jadi makanan sehari-hari. Tiap weekend bisa ditebak saya ada di mana. Di sekolah. Sibuk dengan kegiatan Pramuka. Cinta monyet saya juga berawal di Pramuka. Dia kakak kelas yang jadi ketua Pramuka putra pas SMP (istilahnya Pradana), dan saya juga jadi Pradana putri tahun berikutnya. Saat kuliah, tidak ada kegiatan Pramuka di kampus saya. Adanya di kampus pusat yang udah pindah ke Jatinangor. Kampus saya di Pasirkaliki. Ternyata kegiatan kuliah juga menyita waktu, sehingga saya cuma bisa beraktifitas di dalam kampus. Jadilah saya bergabung dengan pencinta alam di kampus. Atlas Medical Pioneer. Pencinta alam khusus untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran UNPAD. Ada sedikit faktor naksir kakak kelas juga sih pas bergabung di AMP itu, hehehe. Untuk jadi anggota AMP, saya harus ikut Pendidikan Dasar. Lupa tepatnya berapa bulan, 3-6 bulan deh. Saya harus ikut latihan fisik setiap minggu. Lari pagi, lari sore. Dari lari keliling Gasibu (dulu Gasibu masih enak dipakai lari, sekarang udah ancur), sampai menaiki tanjakan dago. Dari tanpa beban, sampai pakai beban ransel diisi entah batu atau air kemasan. Berapa ya dulu beban yang harus dibawa? Berat deh. Mulai jalan kaki, lari, jalan jongkok. Duuuh, ampuuun .. Lalu harus ikut rock climbing (panjat tebing), rafting, perjalanan malam baca peta, camping. Diajari juga cara survival, mengenali daun-daun yang boleh dimakan. Cara membuat api. Puncaknya adalah perjalanan selama 3 hari dua malam. Diakhiri dengan direndam di danau Ciwidey. Pelantikan deh! Bangga dong jadi anggota Pencinta Alam ☺ Kegiatan jadi anggota pencinta alam antara lain sering ikut menjadi tim medis bagi pencinta alam lain yang sedang Pendas atau mahasiswa yang sedang menjalani masa orientasi siswa. Paling semangat kalau disuruh ke ITB. Bisa cuci mata di kampus yang penghuninya mostly cowo kan? Hehehe .. Salah satu syarat lain jadi anggota adalah melakukan pendakian ke gunung. Saya berkelompok bersama Mamat, Wian (mereka berdua sekarang jadi suami istri ☺), Indira, Tine, Dewi, Aldi dan Gamal. Dipandu oleh senior kami, Kang Adang. Kami memilih pergi ke Gunung Argopuro di Jawa Timur. Persiapan dimulai, dengan latihan fisik tiap minggu, menabung untuk biaya perjalanan. Perjalanan dimulai dengan menggunakan kereta api. Persis di 5 cm ☺. Kereta api ekonomi, jurusan Surabaya. Merasakan tidur di lantai. Dari Surabaya disambung bis kecil ke Probolingo, lalu naik angkot ke kaki Argopuro. Saya lupa, perjalanan ke puncak Argopuro dan kemudian turun lagi mungkin sekitar 3-4 hari deh. Kemana ya foto-fotonya? Duh, dulu belum jaman FB atau instagram, jadi cuma bisa foto yang dicetak dan entah di mana sekarang. Naik gunung berikutnya ke Gunung Gede. Cuma sekedar jalan-jalan saja melihat sunrise. Fotonya juga entah di mana. Hiks. Gunung Gede tidak terlalu sulit medannya, bisa ditempuh dalam satu hari perjalanan tanpa perlu menginap. Tapi kalau diajak naik lagi sekarang, ampun, nyerah duluan deh. Nah, inginnya sih, anak-anak saya ada yang ngikutin jejak saya gitu jadi pencinta alam. Karena saya belajar sangaaaat banyak di situ. Belajar hidup seadanya. Naik truk, angkot, jalan kaki. Tidur di rumah penduduk, di tenda, tidak ada WC. Makan di warung, masak sendiri dengan kayu bakar. Segala kesulitan hidup yang perlu untuk dipelajari supaya selalu bersyukur pada Allah. Moga-moga setelah nonton 5 cm, anak-anak jadi tertarik deh ☺

Repost: Sang Caleg


Sang Caleg Nov 23, '08 8:59 PM. From Multiply. Di sela-sela kisah menyedihkan tentang pasien-pasien saya, ada juga kisah lucunya. Bukan lucu sebenernya, malah mengenaskan. Salah satu pasien saya, ibunya sudah meninggal. Jadi anak usia 2 tahun ini jika datang selalu diantar oleh neneknya. Untuk pemeriksaan darah berkala, si nenek selalu menunda meski akhirnya bulan berikutnya dilakukan juga. Rupanya nenek itu harus minta uang dulu ke anak pertamanya (pakdenya si pasien) untuk berobat. Spontan saya tanya, memangnya ayah si anak ini kemana bu? Wahh, tak dinyana tak dikira, langsung keluarkah curahan hati (anak sekarang bilang: curhat colongan) si nenek. Dia bercerita bahwa di ayah pasien ini dulunya pengguna narkoba, sekarang memang sudah berhenti. Lalu dia tidak punya pekerjaan alias pengangguran, sehingga biaya berobat harus dibantu kakaknya. Dan sekarang si ayah ini sedang menjadi Caleg di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Lhooo? Saya spontan terheran-heran. Bukannya kalau mau jadi caleg itu butuh uang banyak? Ibu itu melanjutkan curhatannya. Si ayah ini berhutang sana-sini sampai belasan juta rupiah demi bisa menjadi caleg. Dan tidak jarang, menggelapkan uang ibunya: disuruh membeli obat dengan uang dari si pakde, malah tidak dibelikan obat. Waduuuhh, entah janji-janji apa yang diberikan oleh partainya sehingga si ayah ini ngotot untuk menjadi caleg. Dengan menghalalkan semua cara. Berhutang sana-sini dan menipu sana-sini. Trus, bisa dibayangkan dong apa jadinya kalau nanti dia terpilih? Korupsi? Ahh, saya tidak mau membayangkannya. Kenapa ya orang berlomba2 untuk menjadi caleg? Apakah jadi anggota DPR/DPRD itu mata pencaharian yang menggiurkan? Lalu, bagaimana bisa memperjuangkan rakyat jika untuk dirinya sendiri masih dalam kesulitan keuangan akibat berhutang saat menjadi caleg. Ahhh, gak berani membayangkan lebih jauh lagi :-(

Repost: Maid of the mist


Maid of the mist Nov 2, '08 7:45 PM. From Multiply. Bukan karena pernah naik kapal ini once upon a time, tapi saya posting tentang musibah yang saya alami dua hari yang lalu. Sudah sering saya ganti-ganti pembantu. Hampir tiap tahun pembantu baru deh. Duluuu, saya dapet pembantu yang cukup lama, sampai anak saya usia 3 tahun. Ada juga yang dua tahun. Tapi sebagian besar paling lama bertahan 1-3 bulanan. Masalahnya, mungkin ...kedua anak saya yang sulit diatur. Mana bisa pembantu santai-santai nonton telenovela kalau setiap saat sibuk mencari-cari barang atau mainan yang anak-anak mau. Atau karena anak saya yang kecil lagi masuk fase susah makan. Atau karena anak saya yang besar pemarah. Atau karena kedua anak laki-laki itu hobinya berantem. Atau mungkin karena saya cerewet? Rasanya sih tidak ..saya cerewet hanya pada pagi hari saat heboh membangunkan, menyuruh mandi dan menyuruh mereka makan. Siang, sore, malam hampir tidak pernah cerewet karena komunikasi hanya per telfon. Masalah gaji? Kalau mau membandingkan dengan pembantu ibu ataupun kakak-kakak saya yang tinggal di Jakarta, gaji para pembantu saya lebih tinggi. Karena saya tinggal di kompleks yang para pembantunya suka saling kumpul dan membandingkan ..jadi harus ngasi gaji sesuai standar kalau gak mau pembantu kita dibajak orang. Beban pekerjaan sebenarnya gak terlalu berat. Untuk mengurus dua anak di (dulu) apartemen sempit tanpa halaman saya mempekerjakan dua pembantu. Setelah pindah rumah, saya tambah pembantu laki-laki untuk mengurus halaman dan binatang. Saya hampir tidak pernah menetapkan standar yang tinggi untuk pembantu. Mau bisa masak/tidak, bisa kerja/tidak, yang penting mau mengurus anak-anak dan jujur. Tidak pernah saya mengeluarkan pembantu, kebanyakan mereka yang minta keluar sendiri. Biasanya moment lebaran itu yang jadi alasan pembantu keluar dan saya cari pembantu baru. Pembantu saya yang sekarang yang satu namanya Ratih - asal namanya Ratiyem. Orangnya jutek, egois, masaknya so-so deh. Dia saya tugaskan untuk masak. Sudah kerja dengan saya sekitar setahun. Lebaran kemarin dia pulang dan balik lagi. Pembantu satunya namanya Trisa. Dia bisa mengajak main anak-anak karena itu saya tugaskan mengurus anak-anak. Pekerjaan lain dibagi dua di antara mereka. Trisa ini pemalas, cengeng, pelupa. Sudah enam bulan bekerja, dan saya pertahankan karena dia bisa mengajak main anak-anak. Tapi antara kedua pembantu ini kerjanya ribuuuuttt terus. Ratih merasa Trisa kerjanya tidak benar, sementara Trisa merasa Ratih kerjanya cuma nyuruh-nyuruh dia saja - maklum usia Ratih lebih tua dari Trisa. Pas lebaran kemarin keduanya asalnya tidak mau balik - tapi suami saya berhasil membujuk mereka. Saya sebenarnya merasa senang kalau mereka tidak balik, tapi suami berpendapat lebih baik dengan pembantu lama supaya tidak usah mengajari lagi dari awal. Akhirnya saya setuju. Keputusan yang saya sesali sekarang. Keduanya akhirnya balik lagi. Saya jarang melihat mereka bertengkar, saya pikir masalah beres. Akhir bulan Oktober kemarin, hari Jumat siang Trisa menelfon saya, minta ijin untuk pergi sebentar ke Cilandak. Saya ijinkan karena janjinya sebentar, sore sudah pulang. Toh saya juga pulang cepat, jadi urusan anak-anak bisa saya handle. Ternyata sampai rumah, Ratih tanya, Trisa itu nginep ya bu? Saya mulai curiga, ahh ..mungkin anak itu bandel, malah mau nginep padahal janjinya tidak. Besok saya marahi deh, begitu rencana saya. Ternyata, sampai keesokan paginya Trisa tidak pulang. Suami saya yang kebetulan mau ambil uang dari lacinya lah yang pertama menyadari musibah yang kami alami. Ternyata Trisa pergi dengan mengambil uang beberapa ratus ribu rupiah, HP dan game anak saya, serta cincin saya. Aduuuhh ..lemas rasanya. Blessing in disguise, notebook dan perhiasan saya lainnya (karena gak pernah saya pakai jadi saya simpan di tempat tersembunyi) tidak diambil. Saya memang teledor, menyimpan cincin di laci meja rias saya. Saya pikir, toh dari dulu juga tempatnya di situ tidak ada masalah. Saya belum mengecek baju-baju saya - masih berantakan setelah pindahan karena belum ada lemarinya. Marah? Jelas. Jengkellll rasanya. Tapi apa mau dikata. Mudah-mudahan bisa jadi pelajaran supaya lebih waspada. Problem sekarang ..saya harus cari lagi pembantu :-(

Repost: Pursuit of happiness


Pursuit of happiness Oct 21, '08 7:48 PM. From Multiply. Saya sudah nonton film ini entah berapa kali. Gak pernah bosen. Lewat film ini saya bisa belajar banyak, bagaimana seorang Chris Gardner (Will Smith) yang harus tidur di 'emper' stasiun (btw, stasiun-nya sih gak sekumuh stasiun2 kita di sini), tempat penampungan tunawisma, bisa bekerja sangat keras - magang, belajar, mengurus anak sendirian - dan berhasil lulus program magang tersebut mengalahkan teman2 kerjanya. Padahal teman2 kerjanya bisa punya waktu lebih banyak untuk bekerja dan belajar. Cukup bikin sedih - saat uang di dompetnya cuma tinggal beberapa dollar, hanya cukup untuk membeli makanan buat satu orang, saat dia harus memperbaiki mesin scanner di bawah lampu koridor, saat dia harus menenteng-nenteng mesin scanner ke seluruh penjuru kota demi untuk bisa membayar sewa kamar, dan ahhh, banyak saat-saat yang bikin saya merasa keterlaluan kalo saya tidak bisa bersyukur. Satu pelajaran lain yang bisa saya petik dari film itu adalah saya mengubah cara pandang saya terhadap profesi telemarketer. Selama ini saya - kalau ada penawaran lewat telefon - selalu menolak tanpa memberi kesempatan mereka untuk berbicara. Tapi setelah nonton film ini, saya berusaha lebih menghargainya dengan mendengarkan dulu apa yang ditawarkan, lalu dengan sopan menolaknya. Mereka menelfon saya kan sebenarnya karena mereka sedang bekerja. Tapi, sebenarnya, lebih bagus ditolak dari awal (artinya tidak buang2 pulsa mereka) atau dengarkan dulu baru tolak? Bagaimana ya baiknya?

High risk job (2)


High risk job (2) Oct 20, '08 9:07 AM. From Multiply. Sekarang, giliran risiko buat dokternya sendiri. Maksudnya, pasiennya yang membahayakan dokter. Sebagai dokter anak, tiap hari saya berhadapan dengan anak yang batuk-pilek. Anak kecil kan gak bisa diatur, tengah saya sibuk memeriksa mulutnya, tiba-tiba ..uhuk-uhuk, wahhh, anak itu batuk tepat ke muka saya. Dan saya orang yang malas memakai masker kecuali kalau sayanya yang lagi sakit. Jadi, segala macam virus berterbangan setiap hari di rumah sakit maupun tempat praktek saya. Kalau giliran saya yang sakit, para orangtua pasien seakan-akan memandangi saya sambil mencela: dokter kok bisa sakit, gimana mau bikin sembuh orang? Hihihi .. Saya dan teman-teman suka membandingkan hasil pemeriksaan antibodi yang rutin diperiksa kalau kita hamil. Waktu hamil anak pertama, antibodi rubella saya negatif, ternyata waktu hamil anak kedua hasilnya positif. Wah, kapan saya sakitnya ya? Kalau cuma sekedar ketularan virus batuk-pilek sih, keciiiil. Tapi kalau tertular virus HIV atau Hepatitis C? Ada satu-dua kasus teman yang tertusuk jarum setelah mengambil darah penderita HIV. Protokol untuk kecelakaan kerja seperti itu ada sih, tapi apa gak senewen bin stress, harus minum obat pencegahan selama beberapa minggu dan menanti saat pemeriksaan darah untuk menentukan nasib: tertular atau tidak?. Kasus yang lebih banyak terjadi, para penderita AIDS, khawatir dengan stigma yang ditimpakan pada mereka, menutupi penyakitnya dan tidak memberitahu dokternya bahwa sebenarnya mereka terinfeksi HIV. Jadi, berapa banyak kemungkinan tenaga medis yang karena ceroboh ataupun accident tertusuk jarum dan tidak ditangani dengan baik akibat tidak diketahuinya status HIV pasien? Jadi, kalau seperti ini, masihkah jadi dokter itu enak? Hihihi ..tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.